PEMBAHASAN MASALAH
Hakekat Pembangunan
Dewasa ini istilah pembangunan telah menjadi kata tunggal yang bermakna majemuk. Kata pembangunan dapat dipahami sekaligus sebagai kata kerja, kata benda dan kata sifat. Dilihat sebagai proses kegiatan yang berlanjut, pembangunan dapat dipandang sebagai kata kerja. Sebagai suatu sistem, proses kegiatan pembangunan itu berlangsung dalam suatu totalitas, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Setiap kegiatan dalam proses itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apa yang direncanakan, itu yang akan dilaksanakan. Apa yang dilaksanakan, itu yang akan dievaluasi. Selanjutnya, temuan dari evaluasi menjadi masukan kembali dalam penyusunan rencana baru, begitu seterusnya. Meski proses kegiatan berlangsung secara berulang, namun tidak boleh bersifat rutin dan berjalan ditempat. Kondisi baru harus menjadi makin baik dan meningkat melalu. identifikasi dan upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dijumpai pada setiap tahap dalam proses kegiatan.
Dilain pihak, tujuan pembangunan juga terlihat sebagai kata benda. Tujuan yang ingin dicapai itu dapat dilukiskan dengan angka-angka yang konkrit. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan lebih adil, kesempatan kerja yang bertambah banyak, jumlah produksi yang lebih meningkat, sarana transportasi dan komunikasi yang lebih baik dan lebih banyak, jumlah gedung sekolah yang makin bertambah, sarana kesehatan yang lebih banyak dan lebih bermutu, fasilitas produksi dan pemasaran yang lebih mudah serta mendorong kegiatan ekonomi rakyat dan usaha besar, dan sebagainya. Dengan demikian, rumusan tentang tujuan pembangunan harus terukur secara jelas, tidak boleh kabur dan bersifat sloganitas. Tujuan yang kabur dan tidak terukur mempersulit kegiatan evaluasi, sehingga tidak pernah dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada untuk meningkatkan pembangunan. Dalam ukuran yang konkrit, pembangunan baru dianggap berhasil kalau misalnya, hasil produksi dan pelayanan yang tersedia menjadi lebih bermutu dan lebih banyak. Dengan kata lain, pengadaannya menjadi lebih efektif dan lebih efisien.
Karena tujuan juga dianggap sebagai kondisi yang lebih baik, istilah pembangunan juga dapat dipandang dalam hubungan sebagai kata sifat. Sebagai kondisi yang lebih baik, tujuan pembangunan menjadi yang diinginkan (desirable). Persoalannya, diinginkan oleh siapa? Selama pembangunan hanya bermanfaat bagi kelompok kecil yang kuat dan membawa melarat bagi sebagian besar golongan miskin, maka pembangunan menjadi tidak disukai oleh masyarakat. Masalahnya bukan terletak pada pembangunan itu sendiri, tetapi pada kepentingan siapa yang diwakili oleh pembangunan dimaksud.
2.1 Pandangan Tradisional
Pada mulanya upaya pembangunan negara sedang berkembang (NSB) diidentikan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Semula banyak yang beranggapan yang membedakan negara maju dengan NSB adalah pendapatan rakyatnya. Dengan ditingkatkan pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan “dampak merembes kebawah” (trickle down efect). Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riil, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional dalam harga konstan (setelah dideflasi dengan indeks harga) harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk.
Kecenderungan di atas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, dan Leibenstein.
Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.
Tak pelak lagi konsep dan strategi pembangunan semacam itu dijiwai oleh pengalaman negara-negara Eropa. Inilah disebut eurocentrism, Eropa Sentris, dalam pemikiran awal tentang pembangunan (Hettne,1991). Paham developmentalis gaya eropa ini ditandai dengan munculnya kapitalisme, naiknya masyarakat borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, relatif berhasilnya revolusi industri, dan diperkenalkannya “perumbuhan” sebagai ide perkembangan masyarakat. Tradisi pemikiran arus utama (mainstream) Eropa diterjemahkan lebuh lanjut oleh:
1. Model Liberal: mendasarkan diri pada berlangsungnya mekanisme pasar, industrialisasi yang bertahap, dan perkembangan teknologi.
2. Strategi Kapitalis Negara: merupakan reaksi terhadap paradigma modernisasi.
3. Model Soviet: merupakan pembangunan lebih lanjut dari strategi kapitalis negara, yang nampaknya diilhami oleh kisah sukses Soviet dalam program industrialisasinya.
4. Keynesianisme: merupakan manifestasi dari kapitalisme yang telah mencapai tahap dewasa, yang intinya mengehendaki campur tangan pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internasional telah tersedia, Madison, Denison dan para ahli lain menemukan bahwa perbedaan dalam pembentukan modal dan faktor input tidak banyak menjelaskan mengapa timbul perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Ternyata baru disadari ada banyak faktor yang tadinya dianggap “residual”, ternyata ikut berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Residual disini dikaitkan dengan investasi modal manusia dengan kemajuan teknologi. Pentingnya investment in man, yang menekankan peranan faktor pendidikan dan budaya, merupakan tahap pertama menuju kosep pembangunan yang semakin tidak murni ekonomi lagi. Pembangunan pun semakin disadari tidak hanya berdimensi ekonomi tetapi multi dimensi.
2.1.1 Paradigma Baru dalam Pembangunan
Pada akhir dasawarsa 1960an, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan pembangunan (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986:bab 1). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti:
1. Strategi Pertumbuhan Dengan Distribusi : menganjurkan NSB (negara sedang berkembang) agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memprbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. Syarat utamanya adalah orientasi pada sumberdaya manusia, atau ada yang menyebut sebagai orientasi populisme dalam pembangunan.
2. Strategi Kebutuhan Pokok: dipandang sebagai dasar utama dalam strategi pembangunan ekonomi dan sosial. Ini dikarenakan kebutuhan pokok mencakup kebutuhan minimum konsumsi (pangan, sandang, perumahan) dan jasa umum (kesehatan, transportasi umum, air, fasilitas pendidikan) juga didukung dengan pendekatan lain yang mementingkan apa yang dapat membuat hidup ini lebih berharga. (Todaro, 1989:89), misalnya menekankan 3 nilai dasar pembangunan yaitu, kemampuan menyediakan kebutuhan dasar, kebutuhan untuk dihargai, dan kebebasan untuk memilih.
3. Strategi Pembangunan Mandiri: agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda. Konsep “mandiri” telah muncul sebagai konsep strategis dalam forum internasional sebelum konsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturann global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat lokal, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolisioner, di lain kasus kadang bersifat reaktif.
4. Strategi Pembangunan Berkelanjuan: pembangunan berkelanjutan, atau sustainable development, muncul ketika isu mengenai lingkungan muncul pada dasawarsa 1970. Pesan utamanya ialah bahwa tata dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Leseter Brown (1981) menunjuk 4 area utama dari sudut pandang sustainabilitas, yaitu: tertinggalnya transisi energi, memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut, padang rumput, hutan, pertanian), ancaman perubahan iklim (polusi, efek rumah kaca, dll), serta kurangnya bahan pangan. Pada gilirannya, ini memperkuat pandangan bahwa strategi pembangunan di banyak negara seakan “buta” terhadap lingkungan hidup. Para pendukung utama pembangunan berkelanjutan lalu menunjuk pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya menyatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, namun hal yang paling utama strategi pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5. Strategi Berdimensi Etnik: Strategi ini (ethnodevelopment) bermula muncul dari konflik antar etnis. Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukan konsep ethnodevelopment dalam kebijakan ekonomi barunya. Ini dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia.
2.2 Teori-teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi dari Zaman ke Zaman
2.2.1 Dekade Sebelum 1950
A. Mazhab Historismus
Mazhab Historismus ini melihat pembangunan ekonomi berdasarkan suatu pola pendekatan yang berpangkal pada perspektif sejarah. Metoda kajian mazhab ini bersifat induktif empiris. Dalam alam pikiran mazhab ini fenomena ekonomi adaalah produk perkembangan menyeluruh dan dalam tahap tertentu dalam perjalanan sejarah. Mazhab ini mendominasi pemikiran ekonomi di Jerman selama abad 19 sampai 20.
FREDRICH LIST
List dipandang sebagai pelopor yang meletakkan landasan bagi pertumbuhan pemikiran ekonomi mazhab Historismus ini. Selain itu, List juga menonjol sebagai eksponen dari nasionalisme ekonomi. Pemikiran List tertuang dalam bukunya yang berjdul Das Nationale der Politischen Oekonomie (1840). Menurut List, sistem liberalisme yang laissez-faire dapat menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Perkembangan ekonomi sebenarnya tergantung pada peranan pemerintah, organisasi swasta dan lingkungan kebudayaan. Perkembangan ekonomi hanya terjadi, menurut List, jika dalam masyarakat ada kebebasan dalam organisasi politik dan kebebasan perorangan. List juga menegaskan bahwa negara dan pemerintah harus melindungi kepentingan golongan lemah di antara masyarakat.
Pekembangan ekonomi menurut List, melalui 5 tahap yaitu tahap primitif, beternak, pertanian, pertanian dan industri pengolahan (manufaktur), dan akhirnya pertanian, industri pengolahan dan perdagangan. Pendekatan List dalam menentukan tahap-tahap perkembangan ekonomi tersbut berdasarkan pada “cara produksi”nya.
Selain itu, List juga berpendapat bahwa daerah-daerah beriklim sedang paling cocok untuk pengembangan industri, karena adanya kepadatan penduduk yang sedang yang merupakan pasar yang cukup memadai. Sedangkan daerah tropis kurang cocok untuk industri karena pada umumnya daerah tersebut berpenduduk sangat padat dan pertanian kurang efisien.
BRUNO HILDEBRAND
Pemikiran Hildebrand tertuang dalam bukunya yang berjudul Die Nationaloekonomie der Gegenwart und Zukunft (1848). Pemikiran Hildebrand selalu menekankan evolusi dalam perekonomian masyarakat. Sebagai kritiknya terhadap List, Hildebrand mengatakan bahwa perkembangan ekonomi bukan didasarkan pada “cara produksi” ataupun “cara konsumsi”, tetapi pada “cara distribusi” yang digunakan. Oleh karena itu ia mengemukakan 3 sistem distribusi yaitu:
1. Perekonomian Barter (natura)
2. Perekonomian Uang
3. Perekonomian Kredit
Sayangnya, Hildebrand tidak menjelaskan peroses perkembangan dari tahap tertentu ke tahap berikunya. Selain itu, Hildebrand juga ternyata tidak memberi sumbangan yang berarti terhadap peralatan analisis di bidang ekonomi.
KARL BUCHER
Pendapat Bucher merupakan sitesa dari pendapat List dan Hildebrand. Menurut Bucher, perkembangan ekonomi melalui 3 tahap yaitu:
1. Produksi untuk kebutuhan sendiri (subsisten)
2. Perekonomian kota dimana pertukaran sudah meluas
3. Perekonomian nasional dimana peran pedagang menjadi semakin penting
B. Teori Klasik dan Neo Klasik(Solow-Swan)
ADAM SMITH (1723-1790)
Adam Smith ternyata bukan saja terkenal sebagai pelopor pembangunan ekonomi dan kebijaksanaan laissez-faire, tetapi juga merupakan ekonom pertama yang banyak menumpahkan perhatian kepada masalah pertuumbuhan ekonomi. Dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation (1776) ia mengemukakan tentang proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara sistematis.
Agar inti dari proses pertumbuhan ekonomi menurut Smith ini mudah dipahami, kita bedakan dua aspek utama pertumbuhan ekonomi yaitu:
a. Pertumbuhan output total
Unsur pokok dari sistem suatu negara menurut Smith ada tiga yaitu:
1. Sumber Daya Alam yang tersedia (atau faktor produksi “tanah”)
2. Sumber Daya Insani (atau jumlah penduduk)
3. Stok Barang Modal yang ada
Menurut Smith, sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah yang paling mendasar dan kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah sumber daya alam yang tersedia merupakan “batas masksimum” bagi pertumbuhan suatu perekonomian. Maksudnya, jika sumberdaya ini belum digunakan sepenuhnya, maka jumlah penduduk dan stok modal yang ada yang memegang peranan dalam pertumbuhan output. Tetapi pertumbuhan output itu akan berhenti jika semua sumber daya alam tersebut telah digunakan secara penuh.
Sumberdaya insani (jumlah penduduk) mempunyai peranan yang pasif dalam proses pertumbuhan output. Maaksudnya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat.
Stok modal menurut Smith, merupakan unsur produksi yang secara aktif menentukan tingkat output. Peranannya sangat sentral dalam proses pertumbuhan output. Jumlah dan tingkat pertumbuhan output tergantung pada laju pertumbuhan stok modal (sampai “batas maksimum” dan sumberdaya alam).
Semakin besar stok modal, menurut Smith semakin besar kemungkinan dilakukannya spesialisasi dan pembagian kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas perkapita.
Spesialisasi dan pembagian kerja ini bisa menghasilkan pertumbuhan output, menurut Smith, karena spesialisasi tersebut bisa meningkatkan keterampilan setiap pekerja dalam bidangnya dan pembagian kerja bisa mengurangi waktu yang hilang pada saat peralihan macam pekerjaan.
Namun demikian, sebenarnya ada 2 faktor penunjang penting di balik proses akumulasi modal bagi terciptanya pertumbuhan output yaitu:
1. Makin meluasnya pasar, dan
2. Adanya tingkat keuntungan diatas tingkat keuntungan minimal.
Menurut Smith, potensi pasar akan bisa dicapai secara maksimal jika setiap warga masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pertukaran dan melakukan kegiatan ekonominya. Faktor penunjang kedua yaitu tingkat keuntungan yang memadai. Tingkat keuntungan ini erat hubungannya dengan luas pasar. Jika pasar tidak tumbuh secepat pertumbuhan modal, maka tingkat keuntungan akan segera merosot dan akhirnya akan mengurangi gairah para pemilik modal. Menurut Smith, dalam jangka panjang tingkat keuntungan tersebut akan menurunkan dan pada akhirnya akan mencapai tingkat keuntungan minimal pada posisi stasioner perekonomian tersebut.
b. Pertumbuhan Penduduk
Menurut Adam Smith, jumlah penduduk akan meningkat jika tingkat upah yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah subsisten yaitu tingkat upah yang pas-pasan untuk hidup. Jika tingkat upah diatas tingkat subsisten, maka orang-orang akan menikah pada umur muda, tingkat kematian menurun, dan jumlah kelahiran meningkat. Sebaliknya jika tingkat upah yang berlaku lebih rendah dari tingkat upah subsiten, maka jumlah penduduk akan menurun.
Tiigkat upah yang berlaku menurut Smith, ditentukan oleh tarik-manarik antara kekuatan permintaan dan penawaran tenaga kerja. Tingkat upah yang tinggi dann meningkat jika permintaan akan tenaga kerja (D) tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja (S). Sementara itu permintaan akan tenaga kerja ditentukan oleh stok modal dan tingkat output masyarakat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan permintaan akan tenaga kerja ditentukan oleh laju pertumbuhan stok modal (akumulasi modal) dan laju pertumbuhan output.
Namun dari penjelasan teori Adam Smith diatas, teori tersebut juga memiliki beberapa kritikkan antara lain:
1. Pembagian kelas dalam masyarakat: Teori ini Smith mengabaikan peranan kelas menengah dalam mendorong pembangunan ekonomi. Itu di karenakan dalam teorinya Smith mengasumsikan adanya pembagian masyarakat secara tegas yaitu antara golongan kapitalis (termasuk tuan tanah) dan para buruh.
2. Alasan menabung: menurut Smith, yang dapat menabung adalah para kapitalis, tuan tanah dan lintah darat. Namun ini adalah alasan yang tidak adil, sebab tidak terpikir olehnya bahwa sumber utama tabungan di dalam masyarakat maju adalah para penerima pendapatan, dan bukan kapitalis serta tuan tanah.
3. Asumsi persaingan sempurna: Asumsi utama teori ini adalah persaingan sempurna. Namun kebijakan pasar bebas dari persaingan sempurna ini tidak ditemukan di dalam perekonomian manapun. Sejumlah kendala/ batasan malahan dikarenakan pada sektor perorangan (misalnya larangan monopoli) dan perdagangan internasional (misalnya adanya proteksi) pada setiap negara di dunia.
4. Pengabaian peranan entreupeneur: Smith agak mengabaikan peranan entreupeneur dalam pembangunan. Padahal para entreupeneur ini mempunyai peranan yang sentral dalam pembangunan. Mereka inilah yang menciptakan inovasi dan pada akhirnya menghasilkan akumulasi modal.
5. Asumsi stasioner: Menurut Smith, hasil akhir suatu perekonomian kapitalis adalah keadaan stasioner. Ini berarti bahwa perubahan hanya terjadi di sekitar titik keseimbangan tersebut. Padahal dalam kenyataannya proses pembangunan itu seringkali terjadi teratur dan tidak seragam. Jadi asumsi ini tidak realistis.
DAVID RICARDO (1772-1823)
Jika Adam Smith dianggap sebagai pakar utama dan pelopor pemikiran ekonomi mazhab klasik, maka Ricardo menjadi pemikir yang paling mennjol diantara para pakar mazhab tersebut. Ricardo sebenarnya seorang praktisi yang berasal dari keluarga pedagang menengah dan tidak pernah menuntut pelajaran formal di lembaga pendidikan tinggi. Teori Ricardo di ungkapkan pertama kali dalam bukunya yang berjudul The Principles of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1917.
Perangkat teori yang dikembangkan Ricardo menyangkut 4 kelompok permasalahan yaitu:
1. Teori tentang nilai dan harga barang.
2. Teori tentang distribusi pendapatan sebagai pembagian hasil dari seluruh produksi dan disajikan sebagai teori upah, teori sewa tanah, teori bunga dan laba.
3. Teori tentang perdagangan internasional.
4. Teori tentang akumulasi dan pertumbuhan ekonomi.
Garis besar proses pertumbuhan dan kesimpulan-kesimpulan dari Ricardo tidak jauh berbeda dengan teori dari Adam Smith. Tema dari proses pertumbuhan ekonomi masih pada perpacuan antara laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan output. Selain itu Ricardo juga menganggap bahwa jumlah faktor produksi tanah (sumber daya alam) tidak bisa bertambah sehingga akhirnya menjadi faktor pembatas dalam proses pertumbuhan suatu masyarakat.
Proses Pertumbuhan
Sebelum membicarakan aspek-aspek pertumbuhan dari Ricardo, terlebih dulu kita coba untuk mengenai ciri-ciri perekonomian Ricardo sebagai berikut:
1. Jumlah tanah tebatas.
2. Tenaga kerja (penduduk) meningkat atau menurun tergantung pada apakah tingkatan upah diatas atau di bawah tingkat upah minimal (tingkat upah alamiah = natural wage).
3. Akumulasi modal terjadi bila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik modal berada diatas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan investasi.
4. Kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu.
5. Sektor pertanian dominan,
Dengan terbatasnya luas tanah, maka pertumbuhan penduduk (tenaga kerja) akan menurunkan produk marginal (marginal product) yang kita kenal denga istilah the law of diminishing return. Selama buruh yang dipekerjakan pada tanah tersebut bisa menerima upah diatas tingkat upah alamiah, maka penduduk (tenaga kerja) akan terus bertambah, dan hal ini akan menurunkan lagi produk marginal tenaga kerja dan pada gilirannya akan menekankan tingkat upah ke bawah.
Proses yang dijelaskan diatas akan berhenti jika tingkat upah menurun sampai tingkat upah alamiah. Jika tingkat upah turun sampai dibawah tingkat upah alamiah, maka jumlah penduduk (tenaga kerja) menurun. Dan tingkat tupah akan naik lagi sampai tingkat upah alamiah. Pada posisi ini jumlah penduduk konstan. Jadi dari segi faktor produksi tanah dan tenaga kerja, ada suatu kekuatan dinamis yang selalu menarik perekonomian kearah tingkat upah minimum, yaitu bekerjanya the law of diminishing returns.
Menurut Ricardo, peranan akumulasi modal dan kemajuan teknologi adalah cenderung meningkatkan produktivitas tenaga kerja, artinya bisa memperlambat bekerjanya the law of diminshing returns yang pada gilirannya akan memperlambat pula penurunan tingkat hidup ke arah tingkat hidup minimal. Inilah inti dari proses pertumbuhan ekonomi (kapitalis) menurut Ricardo. Proses ini tidak lain adalah proses tarik menarik antara dua kekuatan dinamis yaitu antara:
1. The law of diminishing returns.
2. Kemajuan teknologi.
Sayangnya proses tarik menarik itu dimenangkan oleh the law of diminishing returns, demikian Ricardo. Keterbatasan faktor produksi tanah (sumberdaya alam) akan membatasi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Suatu negara hanya bisa tumbuh sampai batas yang dimungkinkan oleh sumber daya alamnya.
Apabila semua potensi sumber daya alam telah di eksploitir secara penuh maka perekonomian berhenti tumbuh. Masyarakat mencapai posisi stasionernya, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tingkat output konstan
2. Jumlah penduduk konstan
3. Pendapatan per kapita juga menjadi konstan
4. Tingkat upah pada tingkat upah alamiah (minimal)
5. Tingkat keuntungan pada tingkat yang minimal
6. Akumulasi modal berhenti (stok modal konstan)
7. Tingkat sewa tanah maksimal
Namun dari penjelasan teori Adam Smith diatas, teori tersebut juga memiliki beberapa kritikan antara lain:
1. Pengabaian pengaruh kemajuan teknologi: kenyataannya kenaikan produksi pertanian yang sangat pesat di negara-negara maju telah membuktikan bahwa Ricardo kurang memperhatikan potensi kemajuan teknologi dalam menahan laju berlakunya the law of diminishing reurns dari faktor produksi tanah.
2. Pengertian yang salah tentang keadaan stasioner: pandangan Ricardo bahwa negara akan mencapai keadaan stasioner secara otomatis adalah tidak beralasan, karena tidak ada perekonomian yang mencapai keadaan stasioner dengan laba yang meningkat, produksi yang meningkat, dan akumulasi modal terjadi.
3. Pengabaian faktor-faktor kelembagaan: salah satu kelemahan pokok dari teori Ricardo ini adalah pengabaian peranan raktor-faktor kelembagaan. Faktor ini diasumsikan secara tertentu. Meskipun demikian, faktor tersebut penting sekali dalam pembangunan ekonomi dan tidak dapat diabaikan.
4. Teori Ricardo bukan teori pertumbuhan: menurut Schumpeter, teori Ricardo bukanlah teori pertumbuhan ekonomi tetapi teori distribusi ang menentukan besarnya pangsa tenaga kerja, tuan tanah, dan pemilik modal. Bahkan dia menganggap bahwa pangsa untuk tanah adalah sangat utama, dan sisanya sebagai pangsa tenaga kerja dan modal. Ricardo gagal menunjukan teori distribusi fungsional karena ia tidak menentukan pangsa dari masing-masing faktor produksi secara terpisah.
5. Pengabaian suku bunga: kelemahan lain dari teori Ricardo ini adalah pengabaian suku bunga dalam pertumbuhan ekonomi. Ia tidak menganggap suku bunga sebagai imbalan jasa yang terpisah dari modal tetapi termasuk dalam laba. Pendapat yang salah ini berasal dari ketidakmampuan untuk membedakan pemilik modal dari pengusaha (entreupeneur).
C. Teori Schumpeter
Teori Schumpeter ini pertama kali dkikemukakan dalam bukunya yang berbahasa Jerman pada tahun 1911 yang dikemukakan pada tahun 1934 diterbitkan dalam bahasa inggris dengan judul The Theory of Economic Development. Kemudian Schumpeter menggambarkan teorinya lebih lanjut tentang proses pembangunan dan faktor utama yang menentukan pembangunan dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1939 dengan judul Business Cycle.
Salah satu pendapat Schumpeter yang penting, yang merupakan landasan teori pembangunannya, adalah keyakinan bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun demikian, Schumpeter meramalkan secara pesimis bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami kemandegan (stagnasi). Pendapat ini sama dengan pendapat kaum klasik.
Dalam membahas perkembangan ekonomi, Schumpeter membedakan pengertian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi walaupun keduanya merupakan sumber peningkatn output masyarakat. Menurut Schumpetr, pertumbuhan ekonomi adalah peninkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan “tekhnologi” produksi itu sendiri. Misalnya kenaikan output yang disebabkan oleh pertumbuhan stok modal tanpa perubahan tekhnologi produksi yang lama.
Sedangkan pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh para wiraswasta. Inovasi disini berarti perbaikan “tekhnologi” dalam arti luar, misalna penemuan produk baru, pembukaan pasar baru, dll. Inovasi tersebut menyanggkut perbaikan kuantitatif dari sistem ekonomi itu sendiri yang bersumber dari kreativitas para wiraswastanya.
Adanya lingkungan yang menunjang kreativitas akan menimbulkan beberapa wiraswasta perintis (pioneer) yang mencoba menerapkan ide-ide baru dalam kehidupan ekonomi (cara berproduksi baru, produk baru, bahan mentah, dll).
Inovasi mempunyai 3 pengaruh yaitu :
1. Diperkenalkannya teknologi baru
2. Menimbulkan keuntungan lebih (keunggulan monopolistis) yang merupakan sumber dana penting bagi akumulasi modal.
3. Inovasi akan diikuti oleh timbulnya proses peniruan (imitasi) yaitu adanya pengusaha-pengusaha lain yang meniru tekhnologi baru tersebut.
Proses imitasi tersebut diatas pada akhirnya akan diikuti oleh investasi (akumulasi modal) oleh para peniru (imitator) tersebut. Proses peniruan ini mempunyai pengaruh berupa:
· Menurunnya keuntungan monopolistis yang dinikmati oleh para inovator, dan.
· Penyebaran tekhnologi abau di dalam masyarakat, berarti teknologi tersebut tidak lagi menjadi monopoli bagi pencetusnya.
Kesemua proses yang dijelaaskan di muka meningkatkan output masyarakat dan secara keseluruhan merupakan proses pembangunan ekonomi. Dan menurut Schumpeter, sumber kemajuan ekonomi yang lebih penting adalah pembangunan ekonomi tersebut.
Faktor-faktor Penunjang Inovasi
Schumpeter membedakan inovasi dan invensi (penemuan). Seseorang yang menemukan mesin uap bisa disebut inventor (penemu), tetapi bukan inovator. Pengusaha yang mendirikan perusahaan karena api adalah inovatornya. Dengan kata lain, inovasi adalah penerapan pengetahuan tekhnologi didunia ekonomi, komersial, dan kemasyarakatan. Jadi seorang inovator belum tentu inventor atau sebaliknya.
Menurut Schumpeter ada 5 macam kegiatan yang dimasukan sebagai inovasi yaitu:
1. Diperkenalkannya produk baru yang sebelumnya tidak ada.
2. Diperkenalkannya cara berproduksi baru
3. Pembukaan daerah-daerah pasar baru
4. Penemuan sumber-sumber bahan mentah baru
5. Perubahan organisasi industri sehingga efissiensi industri.
Syarat- syarat terjadinya inovasi:
· Harus tersedia cukup calon-calon pelaku inovasi (inovaor dan eiraswasta) di dalam masyarakat.
· Harus ada lingkungan sosial, politik, dan teknologi yang bisa merangsang semangat inovasi dan pelaksanaan ide-ide untuk berinovasi.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan inovator atau entreupeneur adalah orang-orang yang terjun dalam dunia bisnis yang mempunyai semangat dan keberanian untuk menerapkan ide-ide baru menjadi kenyataan. Seorang inovator atau entreupeneur biasanya berani mengambil resiko usaha, karena memang ide-ide baru tersebut belum pernah dicoba diterapkan secara ekonomis sebelumnya. Biasanya mereka berani mengambil resiko usaha tersebut karena:
· Adanya kemungkinan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan monopolistis jika usahanya berhasil.
· Adanya semangat dan keinginan pada diri mereka untuk bisa mengalahkan saingan-saingan mereka melalui ide baru.
Seperti yang telah dipaparkan, kunci dalam proses inovasi adalah terdapatnya lingkungan yang menunjang terjadinya inovasi tersebut. Menurut Schumpeter, sistem kapitalis dan bebas berusaha, yang didukung oleh lembaga-lembaga sosial politik yang sesuai, merupakan lingkungan yang paling subur bagi timbulnya inovator dan inovasi. Hanya dalam sistem inilah, menurut dia, semangat berinovasi paling tinggi.
Selain itu, ada 2 faktor lain yang menunjang terlaksananya inovasi yaitu:
1. Tersedianya cadangan ide-ide baru secara memadai. Cadangan ide-ide baru merupakan hasil-hasil penemuan para inovator. Disini peranan masyarakat ilmiah yang berkembang dan dinamis yaitu sebagai salah satu unsur utam dari lingkungan inovasi.
2. Adanya sitem perkreditan yang bisa menyediakan dana bagi para entreupeneur untuk merealisasi ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Tanpa adanya sistem kredit, hanya mereka yang mempunyai danalah yang bisa menjadi inovator, oleh karena itu antara penyedia dan dan calon inovator perlu kerja sama.
Runtuhnya Kapitalisme
Berkaitan dengan sistem kapitalis Schumpeter mengemukakan beberapa pendapat. Pertama, seperti telah disinggung di muka, yaitu sistem kapitalis merupakan sistem yang paling cocok bagi timbulnyainovasi, pembanunan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, menurut Scumpeter bagi NSB (negara sedang berkembang) yang sedang berusaha mengejar kemajuan ekonomi (pertumbuhan output) maka sistem kapitalis tersebut sangat sesuai untuk diterapkan.
Kedua, Schumpeter berpendapat bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalis akan meningkatkan pendapatan per kapita masyrakat dan sekaligus distribusi pendapatannya akan lebih merata. Distribusi pendapatan yang semakin merata ini disebabkan oleh adanya inovasi-inovasi yang akaan mengarah kepada barang-barang yang dikonsumsi oleh orang banyak ssehingga barang-barang ini menjadi berlimpah.
Ketiga, menurut Schumpeter bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalis akan “runtuh”, karena adanya transformasi gardual di dalam sistem tersebut menuju ke arah sistem yang lebih bersifat sosialistis. Ciri dari sistem kapitalis itu sendiri akan berubah justru karena kesuksesannya dalam mencapai kemajuan ekonomi dan kemakmuran. Denan semakin makmurnya masyarakat maka akan terjadi proses perubahan kelembagaan dan perubahan pandangan masyarakat yang semakin jauh dari sistem kapitalis asli. Sistem tunjangan sosial bagi penganggur dan orang tua semakin meluas, sitem sekolah murah atau gratis semakin banyak, demikian pula sistem asuransi dan sebagainya.
2.2.2 Dekade Setelah Perang Dunia II
Kepustakaan pembangunan ekonomi pasca perang dunia kedua didominasi oleh empat aliran pemikiran yang bersaing satu sama lain. Keempat pendekatan itu adalah : 1)Model-model pertumbuhan linier (linear-stages-of- growth models) 2)Kelompok teori dan pola-pola perubahan struktural (the structural change theories and patterns) 3)Revolusi ketergantungan internasional (international dependence revolution) 4)Kontrarevolusi pasar bebas neoklasik (neoclassical free-market counterrevolution). Selain keempat teori di atas selama beberapa tahun terakhir ini nampak muncul bibit-bibit pemikiran baru yang kemudian berkembang menjadi pendekatan yang kelima, yakni 5) Teori pertumbuhan ekonomi baru atau endogen (new or endogenous theory of economic growth ).Teori-teori diatas berkembang dalam empat dekade, dan berbeda pada setiap dekadenya.
2.2.3 Dekade 1950an dan 1960an
Para teorisi pada dekade 1950-an dan 1960-an cenderung memandang proses pembangunan sebagai serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang berurutan yang pasti akan dialami oleh setiap negara yang menjalankan pembangunan. Pada dasarnya, pandangan ini merupakan suatu bentuk teori ekonomi yang menyoroti masalah pembangunan.
Pada saat semangat negara-negara yang termiskin di dunia untuk membangun mulai tumbuh sejak berakhirnya perang dunia kedua, para ekonom di negara-negara industri terjebak dalam perangkap yang tiak diduga sebelumnya. Mereka tidak memiliki perangkat-perangkat konseptual guna menganalisis proses pertumbuhan ekonomi yang berkembang pada masyarakat yang sebagian besar penduduknya terdiri dari para petani kecil yang amat tergantung pada sektor pertanian, serta sama sekali tidak didukung oleh struktur-struktur ekonomi modern.
Akan tetapi, para ekonom tersebut memiliki pengalaman Marshal Plan yang dengan bantuan keuangan dan teknik secara besar-besaran dari Amerika Serikat telah memungkinkan negara-negara Eropa yang hancur karena perang untuk membangun kembali dan memordenisasi perekonomian mereka hanya dalam waktu beberapa tahun saja. Logika dan kesederhanaan dua pemikiran yang amat populer pada saat itu adalah penggunaan injeksi modal secara besar-besaran dan pengulangan pola historis dari yang sekarang telah menjadi negara maju.
1) Tahap-Tahap Pertumbuhan Rostow
Menurut ajaran Rostow, perubahan dari keterbelakangan menuju kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Seperti yang diungkapkan sendiri oleh profesor Rostow pada bab pembuka bukunya yang berjudul The Stages Of Economic Growth :
“kita dapat mengidentifikasikan semua masyarakat atas dasar dimensi-dimensi ekonomi mereka. Setiap masyarakat pasti terletak dalam salah satu dari lima tahapan ekonomi yang ada, yakni : tahapan masyarakat tradisional, penyusunan kerangka dasar tahapan tinggal landas menuju pertumbuhan berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis, tahapan tinggal landas, tahapan menuju kematangan ekonomi, dan tahapan konsumsi massal yang tinggi...paparan tahapan ini, pada asarnya merupakan sebuah teori pertumbuhan ekonomi dan dalam cakupan yang lebih umum, meskipun ini memang belum lengkap, merupakan teori tentang sejarah modern secara keseluruhan.”
a. Tahapan Masyarakat Tradisional
Menurut Rostow, yang dimaksudkan dengan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang fungsi produksinya terbatas yang ditandai oleh cara produksi yang relatif masih primitif yang didasarkan pada ilmu dan tehnologi pra-Newton dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang rasional, tetapi kebiasaan tersebut telah turun menurun.
Dalam suatu masyarakat trasidional, menurut Rostow, tingkat produktivitas per pkerja masih rendah. Oleh karena itu sebagian sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian. Dalam sektor pertanian ini, strukur sosialnya bersifat hirarkis yaitu mobilitas vertikal anggota masyarakat dalam struktur sosial kemungkinannya sangat kecil. Maksudnya adalah bahwa kedudukan seseorang dalam masyarakat tidak akan berbeda dangan nenek moyangnya.
Sementara itu kegiatan politik dan pemerintah pada masa ini digambarkan Rostow dengan adanya kenyataan bahwa walaupun kadang-kadang terdapat sentralisasi dalam pemerintahan, tetapi pusat kekuasaan politik di daerah-daerah berada di tangan para tuan tanah yang ada didaerah tersebut. Kebijaksanaan pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh perundingan para tuan tanah di daerah tersebut.
b. Tahap Prasyarat Tinggal Landas
Pembangunan ekonomi menurut Rostow adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan karakteristik penting suatu masyarakat, misalnya perubahan keadaan sistem politik, struktur sosial, sistem nilai dalam masyarakat dan struktur ekonominya. Jika perubahan-perubahan itru terjadi, maka bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sudah terjadi. Jika suatu masyarakat sudah mencapai pertumbuhan yang demikian sifantnya, dimana pertumbuhan ekonomi sudah sering terjadi, maka masyarakat tersebut bisa dikatakan berada pada tahap prasyarat tinggal landas.
Tahap prasyarat tinggal landas ini didefinisikan Rostow sebagai suatu masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri (self sustained growth). Menurut Rostow , pada tahap ini dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara otomatis.
Tahap prasyarat tinggal landas ini memiliki dua corak, yakni :
1. Tahap prasyarat tinggal landas yang dialami oleh negara-negara Eropa, asia, Timur-tengah, dan afrika, dimana tahap ini dicapai dengan perombakkan masyarakat tradisional yang sudah lama ada.
2. Tahap prasyarat tinggal landas yang dicapai oleh negara –negara yang born free (menurut Rostow) seperti Amerika Serikat, Kanada, australia, Selandia Baru, dimana negara-negara tersebut mencapai tahap tinggal landas tanpa harus merombak sistem masyarakat yang tradisional . Hal ini dikarenakan sifat masyarakat negara-negara tersebut yang terdiri dari imigran yang telah mempunyai sifat-sifat yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat untuk prasyarat tinggal landas.
Menurut Rostow pertumbuhan ekonomi hanya akan tercapai jika diikuti oleh perubahan-perubahan lain dalam masyarakat. perubahan-perubahan itulah yang akan memungkinkan terjadinya kenaikan tabungan dan penggunaan tabungan itu sebaik-baiknya. Perubahan yang dimaksud disini adalah misalnya kemampuan masyarakat untuk menggunakan ilmu pengetahuan modern dan membuat penemuan-penemuan baru yang bisa menurunkan biaya produksi. Dan harus ada pula yang dapat memodernisir cara produksi dan harus didukung pula dengan adanya kelompok masyarakat yang menciptakan tabungan dan meminjamkannya kepada wiraswasta(entrepreneurs) yang inovatif untuk meningkatkan produksi dan produktifitas.
Selain hal-hal yang telah dijelaskan d atas, Rostow menekankan pula bahwa kenaikan tingkat investasi hanya mungkin terjadi jika tercipta perubahan dalam struktur ekonomi. Kemajuan disektor pertnian, pertambangan, dan prasarana harus terjadi bersama-sama dengan proses peningkatan investasi. Pembangunan ekonomianya memungkinkan oleh adanya kenaikan produktivitas di sektor pertanian dan perkembngan di sektor pertambangan.
Menurut Rostow, kemajuan sektor pertanian mempunyai peran penting dalam masa peraluhan sebelum tahap tinggal landas. Peranan sektor pertanian tersebut antara lain :
Menjamin penyediaan bahan makanan bagi seluruh penduduk di pedesaan maupun perkotaan. Hal ini menjamin penduduk agar tidak kelaparan dan menghemat devisa karena impor bahan makanan bisa dihindari.
Memperluas pasar dari berbagai kegiatan industri.
Memperluas pasar industri barang-barang konsumsi
Memperluas pasar industri- industri penghasil input pertanian modern seperti mesin –mesin pertanian dan pupuk kimia
Menaikkan penerimaan pemerintah melalui pajak sektor pertanian
Menciptakan tabungan yang bisa digunakan di sektor-sektor lainnya.
Sementara pembangunan prasarana, menurut Rostow, bisa menghabiskan sebagian besar dari dana investasi. Investasi di bidang prasarana ini memiliki 3 ciri yaitu:
- Tenggang waktu antara pembangunannya dan pemetikan hasilnya (gestation period) sangat lama,
- Pembangunannya harus dilakukan secara besar-besaran sehingga memerlukan biaya yang banyak,
- Dan manfaat pembangunannya dirasakan oleh masyarakat banyak.
Berdasarkan sifat-sifat inilah maka pembangunan prasarana harus dilakukan oleh pemerintah.
Disamping itu, Rostow juga menunjukkan bentu perubahan dalam kepemimpinan pemerintah dari masyarakat yang mengalami transisi. Untuk menjaminterciptanya pembangunan yang teratur, suatu kepemimpinan yang baruharuslah mempunyai sifat nasionalisme yang reaktif (reactive nationalism) yaitu bereaksi secara positif atas tekanan- tekanan dari negara maju.
c. Tahap Tinggal Landas
Pada tahap tinggal landas ini pertumbuhan ekonomi selalu terjadi. Pada awal tahap ini terjadi perubahan drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut secara teratur akan tercipta inovasi-ibnovasi dan peninkatan investasi. Investasi yang tinggi akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan nasional dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Menurut taksiran Rostow, masa tinggal landas di beberapa negara adalah seperti digambarkan dalam tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1
Taksiran Tahap Tinggal Landas dan Sektir Pemimpin pada Tahap Tinggal Landas di Beberapa Negara Menurut Rostow
Negara | Tahap Tinggal Landas | Sektor Pemimpin |
Inggris | 1783-1802 | Industri Tekstil |
Perancis | 1830-1860 | Jaringan Jalan Kereta Api |
Belgia | 1833-1860 | - |
Amerika Serikat | 1843-1860 | Jaringan Jalan Kereta Api |
Jerman | 1850-1873 | Jaringan Jalan Kereta Api |
Swedia | 1868-1890 | Industri Kayu |
Jepang | 1878-1900 | Industri Sutera |
Rusia | 1890-1914 | Jaringan Jalan Kereta Api |
Kanada | 1896-1914 | Jaringan Jalan Kereta Api |
Argentina | 1935 | Industri Substitusi Impor |
Turki | 1937 | - |
India | 1952 | - |
China | 1952 | - |
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Sebagian besar negara barat mencapa masa tinggal landas pada abad yang lalu, kecuali Inggris, yang sudah mencapainya seabad sebelumnya.
2. Masa tinggal landas itu berkisar antar 20-25 tahun.
Rostow mengemukakan 3 ciri utama dari negara-negara yang sudah mecapai masa tinggal landas yaitu :
1. Terjadinya kenaikan investasi produktif dari 5 % atau kurang menjadi 10 % dari Produk Nasional Bersih (Net National Product-NNP)
2. Berkembangnya satu atau beberapa sektor industri pemimpin (leading sectors) dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi.
3. Terciptanya suatu kerangka dasar politik, sosial, dan kelembagaan yang bisa menciptakan perkembangan sektor modern dan eksternalitas ekonomi yang bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi terus terjadi.
Termasuk juga kemampuan negara tersebut untuk mengerahkan sumber-sumber modal dalam negeri, karena kenaikan tabungan dalam negeri peranannya besar sekali dalam menciptakan tahap lepas landas.
Menurut Rostow, perkembangan sektor pemimpin berbeda-beda untuk setiap negara. Di inggris, tekstil katun merupakan sektor pemimpin pada masatinggal landasnya, sedangkan perkembangan jaringan jalan kereta api memegang peranan yang sama di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Kanada, dan Rusia. Di Swedia, sektor pemimpinnya adalah industri kayu, di Jepang sutera, dan Argentina adalah Industri Substitusi Impor barang-barang konsumsi.
Terdapat 4 faktor yang harus diperhatikan dalam menciptakan sektor pemimpin, yaitu:
1. Harus ada kemungkinan untuk perluasan pasar bagi barang –barang yang diproduksi yang mempunyai kemungkinan untuk berkembang dengan cepat.
2. Dalam sektor tersebut, harus dikembangkan teknik produksi yang modern dan kapasitas produksi harus bisa diperluas.
3. Harus tercipta tabungan dalam masyarakat dan para pengusaha harus menanamkan kembali keuntungannya untuk membiayai pembangunan sektor pemimpin
4. Pembanguna dan transformasi teknologi sektor pemimpin haruslah bisa menciptakan kebutuhan akan adanya perluasan kapasitas dan modernisasi sektor-sektor lain
d. Tahap Menuju Kedewasaan
Tahap menuju kedewasaan ini menurut Rostow di artikan sebagai masa dimana masyarakat sudah secara efeltif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor pemimpin baruakan muncul menggantikan sektor pemimpin lama yang akan mengalami kemunduran dimana sektor pemimpin yang baru ini coraknya ditentukan oleh perkembangan teknologi, kekayaan alam, sifat-sifat dari tahap lepas landas yang terjadi, dan juga oleh kebijaksanaan pemerintah.
Dalam menganalisis karakteristik tahap menuju kedewasaan, Rostow menekankan analisisnya kepada corak perubahan sektor pemimpin di beberapa negara yang sekarang sudah maju. ia juga menunjukkan bahwa perubahan sektor pemimpin pada tiap-tiap negara tersebuta adalah berbeda dengan pada tahap tinggal landas.
Tabel 2
Taksiran tahap menuju ke kedewasaan beberapa negara menurut Rostow
Negara | Menuju ke Kedewasaan | Sektor Pemimpin |
Inggris | 1850 | Industri Besi |
Amerika Serikat | 1900 | Industri baja dan industri peralatan berat |
Jerman | 1910 | Industri baja dan industri peralatan berat |
Perancis | 1910 | Industri baja dan industri peralatan berat |
Swedia | 1930 | - |
Jepang | 1940 | - |
Rusia | 1950 | - |
kanada | 1950 | - |
Rostow mengemukakan pula karakteristik non-ekonomis dari masyarakat yang telah mencapai tahap menuju ke kedewasaan sebagai berikut :
1. Striktur dan keahlian tenaga kerja mengalami perubahan. Peranan sektor industri semakin penting, sedangkan sektor pertanian menurun.
2. Sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan. Peranan manajer profesional semakin penting dan menggantikan kedudukan pengusaha-pemilik.
3. Kritik-kritik terhadap industrialisasi mulai muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap dampak industrialisasi.
e. Tahap Konsumsi Tinggi
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari teori pembangunan ekonomi Rostow. Pad tahap ini perhatian masyarakat telah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi kepada masalah produksi. Pada tahap ini ada 3 macam tujuan masyarakat (negara) yaitu :
1. Memperbesar kekuasaan dan pengaruh ke luar negeri dan kecenderungan ini bisa berakhir pada penjajahan terhadap bangsa lain.
2. Menciptakan negara kesejahteraan (welfare state) dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem pajak yang rogresif
3. Meningkatkan konsumsi masyarakat melebihi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) menjadi meliputi pula barang-barang konsumsi tahan lama dan barang-barang mewah.
Menurut sejarah, Amerika Serikat adalah negara yang pertama yang mencapai tahap konsumsi tinggi ini yaitu pada tahun 1920, kemudian disusul oleh inggris pada tahun 1930-an, Jepang dan eropa Barat lainnya pada tahun 1950-an, dan Rusia setelah kematian Stalin.
2) Model Pertumbuhan Harrod-Domar
Teori pertumbuhan Harrod-Domar ini dikembangkan oleh dua ekonom sesudah Keynes yaitu Evsey Domar dan Sir Roy F. Harrod. Teori Harrod-Domar merupakan perluasan dari analisis Keynes mengenai kegiatan ekonomi secara nasional dan masalah tenaga kerja. Teori Harrod-Domar ini menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang. Teori Harrod-Domar ini memiliki beberapa asumsi, diantaranya adalah :
1. Perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan barang-barang modal yng terdiri dalam masyarakat digunakan secara penuh.
2. Perekonomian terdiri dari 2 sektor yaitu sektor rumah tangga dan sektor perusahaan.
3. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional.
4. Kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to save = MPS), ratio modal output (capital –out ratio put = COR) dan rasio pertambahan modal output (incremental capital output ratio = ICOR) besarnya tetap.
Kendala dan Batasan
Berdasarkan teori Harrod-Domar, maka kita akan mengetahui bahwa taktik yang paling mendasar bagi pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara meningkatkan bagian dari pendapatan nasional untuk ditabung yaitu memperbesar bagian dari pendapatan nasional yang tidak dikonsumsi.
Hambatan utama atau kendala terhadap kemajuan pertumbuhan ekonomi menurut teori ini adalah relatif terbatasnya peluang pembentukkan modal-modal baru , apalagi di negara-negara miskin. Itulah sebabnya mengapa pemikiran inti “kendala modal” yang dikemukakan oleh aliran pendekatan pertumbuhan dan pembangunan bertahap dijadikan alat pembenaran dan dimanfaatkan sebagai dalih oportunistis untuk mengabsahkan pengaliran modal dan bantuan teknis secara besar-besaran dari negara-negara maju ke sejumlah negara berkembng. Dengan demikian, menurut pemikiran ini, dalam rangka menciptakan kemajuan ekonomi bersama, maka program pemberian bantuan teknis dan finansial secara besar-besaran seperti Marshall Plan harus diadakan lagi, kali ini khusus untuk negara-negara terbelakang di Dunia Ketiga.
3) Kritik Terhadap Model Pertumbuhan Bertahap
Meskipun nampak menarik, namun gagasan-gagasan dasar tentang pembangunanyang terkandung dalam teori-teori pertumbuhan bertahap tersebut tidak selalu berlaku. Alasannya yang utamanya adalah karena dalam kenyataannya telah terbukti bahwa pengadaan tabungan dan investasi saja belum cukup menjadi syarat pemacu pertumbuhan ekonomi.
Bila ditarik dari dasar yang dijadikan acuan yakni Marshall plan, maka program ini bisa dikatakan berhasil di Eropa karena eropa penerima bantuan tersebut sudah memiliki atau sanggup memenuhi syarat-syarat struktural, institusional, dan sikap-sikap yang diperlukan ( misalnya, adanya pasar-pasar komoditi dan pasar-pasar uang yang telah terintegrasi dengan baik, tersedianya fasilitas transportasi yang memadai, tenaga kerja yang terlatih dan terdidik dengan baik , motivasi yang berhasil dan birokrasi pemerintahan yang efisien) untuk mengubah modal baru secara efektif dan efisien menjadi oitput yang besar dan lebih tinggi daripada sebelumnya.
Model pembangunan Rostow dan Harrod-domar secara implisit ternyata mengasumsikan adanya sikap –sikap dan pengaturan yang sama di negara terbelakang . akan tetapi asumsi ini tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena negara-negara tersebut masih sangat kekurangan faktor-faktor komplementer yang penting seperti misalnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang terlatih, kemempuan perencanaan, danm pengelolaan berbagai proyek pembangunan, dan lain sebagainya.
Bahkan bisa dikatakan bahwa teori-teori pertumbuhan bertahap ini telah gagal total dalam memperhitungkan berbagai kenyataan penting lainnya. Antara lain, bahwasanya negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini merupakan bagian integral dari suatu sistem internasional yang sedemikian rumit dan interkatif, sehingga strategi-strategi pembangunan yang paling hebat dan terencana dengan matang sehingga sekalipun dapat dimentahkan begitu saja oleh kekuatan-kekuatan asing yang keberadaan dan sepak-terjangnya sama sekali di luar kendali negra-negara yang bersangkutan.
2.2.4 Dekade 1970-an
Pada dekade 1970-an pendekatan tahapan linier tergusur dengan adanya dua aliran pemikiran ekonomi . Aliran yang pertama menitikberatkan pada teori dan pola perubahan struktural. Teori ini menggunakan teori-teori ekonomi modern dan analisis statistik guna menggambarkan proses struktural internal yang harus dialami oleh negara-negara berkembang agar mampu dan berhasil menciptakan sertasekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonominya ayang cepat. Aliran pemikiran yang kedua adalah revolusi ketergantungan internasional. Aliran ini bersifat radikal dan lebih berorientasi pada politik. Revolusi ini memandang keterbelakangan negara-negara berkembang sebagai akibat pola hubungan kekuasaan internasional yang tidak adil, yang dalam menjalankan operasinya juga dibantu oleh segmen-segmen domestik tertentu.
Perhatian utama teori ini ditujukan pada pentingnya menyusun kebijakan baru untuk menghapuskan kemiskinan secara total, menyediakan kesempatan kerja yang lebih bervariasi dan mengurangiketimpangan distribusi pendapatan.
1) Teori-teori perubahan struktural
a. Teori pembangunan Lewis
Salah satu model teoritis tentang poembangunan yang paling terkenal memusatkan perhatiannya pada transformasi struktural suatu perekonomian subsisten, mula-mula dirumuskan oleh W. Arthur Lewis.
Menurut teori pembangunan yang diajukan Lewis, perekonomian yang terbelakanterdiri dari dua sektor ( model dua-sektor Lewis), yakni :
(1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol- yang merupakan indikator situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor itu tidak akan kehilangan outputnya sedikitpun.
(2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penmpungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten.perhatian utama model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor yang modern.
Lewis mengemukakan dua asumsi mengenai sektor trsdisional. Yang pertama adalah adanya surplus tenaga kerja atau MPLA sama dengan nol. Kedua, bahwasanya semua pekerja di daerah pedesaan menghasilkan output yang sama sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata, bukannya produktivitas tenaga kerja marjinal (seperti pada sektor modern)
b. Kritik Terhadap Model Lewis
Meskipun model dua sektor Lewis ini sudah cukup jelas dan secara umum sudah sesuai dengan pengalaman sejarah pertumbuhan ekonomi modern negara-negara Barat, namun tiga dari asumsi-asumsi utamanya ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional ekonomis di sebagian besar negara-negara dunia ketiga.
Asumsi pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern pasti sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi modalnya, maka akan semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru.
Akan tetapi apa yang akan terjadi apabila keuntungan para kapitalis tersebut justru diinvestasikan kembali dalam bentuk barang-barang modal yng lebih canggih dan lebih hemat tenagakerja, bukan pada barang modal yang sebenarnya hanya merupakan duplikasi dari modal yang sudah ada sebelumnya seperti yang diasumsikan leh Lewis?.
Asumsi kedua adalah adanya dugaan bahwa di pedesaan terjadi kelebihan tenaga kerja, sedangkan di daerah perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secra optimal. Namun, hasil dari sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa keadaan sebaliknyalah yang lebih mungkin terjadi didunia ketiga yaitu seperti jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar tetapi hanya sedikit surplus tenaga kerja di pedesaan. Dugaan tersebut memang ada pengecualiannya pada at tertetu yakni ketika adanya arus pekerja musiman dan perpindahan permanen penduduk secara geografis. Aka tetapi para hli ekonomi pembangunan saat ini telah sepakat bahwa asumsi surplus tenaga kerja di perkotaan secara empiris lebih tepat daripada asumsi sebaliknya yang dikemukakan Lewis.
Asumsi ketiga yaitu dugaan tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern akan menjamin keberadaan upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus penawaran tenaga kerja habis terpakai, tidak dapat diterima.
Pada tahun sebelum 1980-an, salah satu ciri yang mengesankan dari penentuan tingkat upah pasar tenaga kerja perkotaan di hampir semua negara berkembang adalah upah yang diberikan cenderung meningkat sangat besar dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara relatif, yakni apabila dibandingkan dengan pendapatan di daerah pedesaan.
Dapat disimpulkan bahwa apabila kita memperhitungkan adanya bias penghematan tenaga kerja pada sebagian besar pada sebagian alih teknologi modern, adanya sejumlah pelarin modal ke luar negeri, tidak adanya surplus tenaga kerja di daerah pedesaan , semakin merajalelanya surplus tenaga kerja di daerah perkotaan, dan terus bertahannya kecenderungan peningkatan upah secara cepat pada sektor modern, bahkan juga di tengah terjadinya pengangguran terbuka, model dua sektor ini memang harus ada perubahan baik itu dari segi asumsi-asumsi dan analisisnya.
c. Perubahan Struktural dan Pola-Pola Pembangunan
Analisis pola pembangunan juga memusatkan perhatiannya pada proses yang mengubah struktur ekonomi , industri, dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomia yang terbelakang, sehingga memungkinkan tampilnya idustri-industri baru yang menggantikan sektor pertanian sebagai penggerak roda pembangunan.
Pola dan teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan, dan investasi merupakan syarat yang harus dipenuhi syarat yang harus dipenuhi, akan tetapi tidak akan memadai pertumbuhan ekonomi.
Selain akumulasi modal untuk pengadaan sumberdaya fisik maupun sumberdaya manusi, diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian negara yang bersangkutan demi terselenggaranya transisi yang bersifat mendasar dari sistem ekonomi modern.
Adpun kendala pembangunan dari dalam negeri antara lain adalah kelangkaan akses atau saluran bagi negara yang bersangkutan untuk mendapatkan modal dan teknologi modern dari luar negeri, serta tuntutan untuk menghadapi persaingan yang begitu ketat dalam perdagangan internasional.
Dengan demikian, tidak seperti model pertumbuhan bertahap yang terdahulu, model-model perubahan struktural mengakuibahwa negara-negara berkembang merupakan bagian dari suatu sistem internasionla yang sangat integratif . diakui pula bahwa sistem internasional dapat membantu upaya-upaya pembangunan negara-negara dunia ketiga.
d. Kesimpulan dan implikasinya
Hipotesis utama dari model perubahan struktural adalah bahwa pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan yang dapat diamati, yang ciri-ciri pokoknya sama di semua negara.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran proses pembangunan pada umumnya adalah jumlah dan jenis sumber daya alam yang dimiliki masing-masing negara, tersedianya modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kobdisi di lingkungan perdagangan internasional.
Singkatnya, telaah empiris tentang proses perubahan struktural mengarah pada kesimpulan bahwa langkah dan pola pembangunan dapat berbeda karena faktor-faktor domestik maupu internasional dan banyak diantaranya yang berada di luar jangkauan kendali negara-negara berkembang.
b) Teori Ketergantungan
Teori ketergantungan (dependencia) ini pertama kali dikembangkan di Amerika Latin pada tahun 1960-an. Menurut para ahli teori ini, ketebelakangan (underdevelopment) negaranegara Amerika Latin terjadi pada saat masyarakat prakapitalis tersebut “tergabung” (incorporated) ke dalam sistem ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan menjadi daerah “pinggiran” dari daerah-daerah metropolitan yang kapitalis. Daerah-daerah “pinggiran” ini dijadikan daerah-daerah jajahan dari negar-negara metropolitan.
Dalam Mazhab “ketergantungan” ada dua macam yaittu aliran Marxis serta Neo-Marxis dan aliran Non-Marxis. Aliran pertama diwakili oleh Andre Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Rudolfo Stavenhagen, Vasconi, dan Ruy Mauro Marini. Aliran ini menggunakan kerangka analisis dari teori Marxdan Neo-Marxis tentang imperialisme. Aliran ini tidak membedakan secara tajam antara struktur intern dan ekstern, karen kedua struktur tersebut pada dasarnya dipandang sebagai faktor yang berasal dari sistem kapitalis dunia itu sendiri. Struktur intern masa kini dari daerah-daerah pinggiran tersebut memang sudah berabad-abad dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari oluar sistem tersebut, sehingga seluruh struktur ini sudah terbuka bagi faktor ekstern. Dengankata lain, struktur intern daerah pinggiran tersebut hanya menjadi bagian yang tergantung dari struktur kapitalis dunia.
Selain itu, aliran Marxis dan Neo-Marxis ini mengambil perspektif perjuangan kelas internasional ntara pemilikmodal (para kapitalis) di satu pihak dan kaum uruh (masa proletar yang besar) dilain pihak. Untuk memperbaiki nasidan kedudukan mereka, maka kaum poletar dunia perlu mengambil prakasa dangan menumbangkan kekuasaan golongan kelas pemerintah yang hanya menjadi alat dari pusat metropolitan yang jahat. Oleh karena itu, menurut aliran ni resep pembangunan untuk daerah pinggiran adalah revolusi.
Aliran kedua yaitu aliran Non-Marxis di pelopori oleh Celso Furtado,helio Jaguaribe, Anibal Pinto, Fernando Henrique Cardoso, dan Osvaldo Sunkel. Aliran Non-Marxis ini terutama melihat masalah ketergantungan dari perspektif nasional atau regional, yaitu kawasan Amerika Latin. Aliran ini dengan tegas membedakan antara keadaan dalam negeri dan luar negeri. Menurut aliran ini struktur dan kondisi intern pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal dari sistem itu sendiri, meskipun struktur intern ini dimasa lampau atau masa kini dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri. Oleh karena itu, subyek yang perlu dibangun adalah “bangsa” atau “rakyat dalam suatu negara” atau negara-negara yang termasuk kawasn Amerika Latin. Dalam menghadapi tantangan pembangunan maka konsep negara atau bangsa ini perlu dijadikan landasan untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang diperlukan untuk menentukan sikap terhadap dunia ekstern.
Pada umumnya para sejarawan dan para ekonom maupunilmuan sosial yangmenggunakan teori ketergantungan untuk menerangkan ketrbelakangan NSB serta menuding kolonialisme sebagai penyebab utama dari ketergantungan tersebut, cendrung untuk mengidealkan masyarakat-masyarakat prakolonial. Sering efisiensi administratif negara-negara prakolonial terlampau dilebih-lebihkan untuk menekankan kemungkinan yang sebenarnya terbuka bagi negara-negara tersebut untuk menalami suatu transisi ke kapitalisme borjuis yang serupa yang telah terjadi di Eropa Barat. Namun hal ini idak terjadidi masyarakat-masyaraka kolonial karena penetrasi dan kolonialisme Barat.
Selain itu, teori ketergantungan pada umunya juga mengabaikan faktor-faktor intern, seperti struktur sosial-budaya dan pola perilaku masyarakat-masyarakat prakolonial itu. Dengan menyalahkan kolonialisme dan neo-kolonialisme Barat sebagai faktor utama yang bertanggung jawab atas keterbelakangan daerah-daerah pinggiran tersebut dan atas masalah-masalah besar yang merintangi pembangunan daerah-daerah tersebut, maka struktur sosial-budaya masyarakat-masyarakat prakolonial ini sebagai suatu faktor penyebab penting dari keterbelakangan mereka rupanya kurang diperhatikan oleh penganut teori ketergantungan.
a. Revolusi ketergantungan internasional
Pendekatan ini sebenarnya terpecah menjadi sejumlah besar alian, akan tetapi kesemuanya itu dapat digolong-golongkan ke dalam tiga aliran pemikiran besar yaitu: model ketergantungan neokolonial(neocolonial dependence model ), model paradigma palsu (false paradigm model)sertya tesis pembangunan dualistik(dualistic development thesis).
Model Ketergantungan Neokolonial
Aliran pemikiran ketergantungan pertama yang kita sebut sebagai model ketergantungan neokolonial secara tidak langsung dalah suatu pengembangan pemikiran kaum Marxis. Model ini menghubungkan keberadaan dan kelanggengan negara-negara dunia ketiga kepada evolusi sejarah hubungan internasional yang sama sekali tidak seimbang antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin dalam suatu sistem kapitalis internasional.
Pandangan neo-marxis atau dalm hal ini pandangan keterbelakanagn neokolonial, atau lebih tepatnya neo-marxis, ini mencoba menghubungkn kemiskinan dengan keberadaan dan kebijakan-kebijakan kelompok negara-negara industri kapitalis. Dengan demikian keterbelakangan oelh penganut aliran ketergantungan dipandang sebagai suatu fenomena yang diakibatkanatau diciptakan secara sengaja oleh kondisi-kondisi eksternal.
Oleh karena itu, menurut para penganjur pendekatan ketergntungan, perjuangan revolusioner, paling tidak berupa serangkaian restrukturisasi mendasar atas sistem kapitalis dunia, mutlak perlu dilakukan dalam rangka membebaskan ketergantungan negara-negara yang dibantu oleh antek-anteknya yakni penindas domestik.
Model Paradigma Palsu
Aliran yang kedua dari teori ketergantungan internasionl terhadap topik pembangunan ini reliatif tidak begitu radikal. Aliran ini disebut sebagai model paradigma palsu. Teori ini mencoba menghubungkan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga dengan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang diberikan oleh pengamat atau pakar internasional yang bernaung di bawah lembaga-lembaga bantuan negara-negara maju dan organisasi-organisasi donor multidimensional. Para pakar ini menawarkan konsep-konsep yang serba canggih, struktur teori yang bagus, dan model-model ekonometri yang serba rumit tentang pembangunan yang dalam prakteknya seringkali hanya menjurus kepada terciptanya kebijakann-kebijakan yang tidak tepat guna atau bahkan melenceng sama sekali.
Disamping itu menurut argumen paradigma palsu ini, para cendekiawan di berbagai universitas terkemuak para pemimpin serikat-serikat pekerja, para ekonom di lembaga pemerintahan, dan para pejabat negara-negara berkembang pada umumnya, hampir semuanya mendapat didikan dan latihan barat pada lembaga-lembaga di negara maju.
Tapi pada kasus ini, mereka seringkali menerima mentah-mentah konsep-konsep teoritis yang sebenarnya memang hebat tetapi tidak dapat diterapkan pada negaranya masing-masing.
Tesis Pembangunan Dualistik
Secara eksplisit teori ini menyatakan gagasan berupa adanya sebuah dunia bermasyarakat ganda ( a world of dual society). Pandangan ini melihat dunia terbagi kedalam dua kelompok besar, yakni negar-negara kaya dan miskin. Pada dasarnya konsep dualisme ini terdiri dari empat elemen kuci sebagai berikut ;
1. Di setiap tempat dan konteks selalu ada sejumlah elemen superior dan sekaligus imperior. Elemen –elemen ini hadir secara bersamaan dalam waktu dan tempat yang sama.
2. Koeksistensi ini tidak bersifat sementara atau transisional melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen atau kronis. Artinya eemen yang superior memiliki kekuatan untuk mempertahankan superioritasnya, sedangkan elemen yang sedangkan elemen yang imperiror tidak mudah untuk mempertahankan dirinya.
3. Kadar superioritas dan imperioritas dari masing-masing elemen tersebut cenderung meningkat.
4. Hubungan saling keterikatan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-elemen lainnya yang inferior terbentuk sedemikian ruapa sehingga eemen-elemen superior ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi peningkatan kedudukan elemen inferior.
b. Kesimpulan dan Implikasinya
Teori ketergantungan internasional, model paradigma palsu dan model dualisme secraa tegas menolak penekanan-penekanan khusus dalam model-model ekonomi barat yang dirancang untuk mempercepat pertumbuhan GNP sebagai tujuan pembangunan yang utama.
Mereka juga menolak pendapat tentang adanya keteraturan pola pembangunan yang seharusnya diikuti oleh sebagian besar negara negara miskin . para penganjur teori dualisme lebih menekankan pada fakta ketidakseimbangan kekuasaan internasional dan perlunya dilakukan seuatu reformasi ekonomi, politik, dan kelembagaan secara mendasar baik di negara-negara berkembang maupun pada sistem internasional secara keseluruhan.
Sementara kelompok neo-marxisme yang radikal menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan perubahan –perubahan struktural tidak jadi persoalan, jika hak kepemilikan pribadi tidak ada.
Teori ketergantungan memiliki dua kelemahan yang pokok. Pertama, teori ini hanya memberikan sedikit penjelasan formal maupun informal mengenai apa yang harus dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Kedua, pengalaman ekonomi negera-negara berkembang secara aktual dan pengkampanyean revolusi penasionalisasian industrinya dimana keadaannya menjelaskan bahwa pemerintahan juga akan mengalami kegagalan yang sama seperti pasar.
c). Teori Revolusi Ketergantungan Internasional.
Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian mendapat dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga telah menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional maupun domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominasi oleh negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model Ketergantungan Kolonial dan Model Paradigma Palsu.
a. Model Ketergantungan Kolonial.
Teori Ketergantungan ini muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan merupakan variasi dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu sendiri berarti berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya.
Secara sengaja negara-negara kaya mengeksploitasi dan menelantarkan ko-eksistensi negara-negara miskin negara miskin dalam sistem internasional yang didominasi oleh hubungan kekuasaan yang sangat tidak seimbang antara pusat atau centre (negara-negara maju) dan pinggiran atau periphery (negara-negara berkembang). Praktek dan kondisi tersebut menggoda negara-negara miskin untuk mandiri dan bebas dalam upaya-upaya pembangunan mereka yang sulit dan bahkan kadang-kadang serba tidak mungkin.
Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara sedang berkembang (tuan tanah, pengusaha, pejabat, militer) yang menikmati penghasilan tinggi, status sosial, dan kekuasaan politik merupakan kaum elit dalam masyarakat. Kepentingannya, sengaja atau tidak sengaja melestarikan ketidakmerataan dan eksploitasi ekonomi oleh negara-negara maju terhadap negara-negara miskin karena secara langsung atau tidak langsung mereka mengabdi kepada kekuasaan kapitalis internasional.
b. Model Paradigma Palsu.
Keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga disebabkan oleh kesalahan atau ketidaktepatan nasihat/saran yang diberikan oleh para penasihat dan para pakar internasional dari lembaga-lembaga bantuan negara maju dan donor-donor multinasional. Nasihat atau saran tersebut mungkin bermaksud baik tapi sering tidak mempunyai informasi yang cukup tentang negara yang akan dibantu terutama negara-negara sedang berkembang.
2.2.5 Dekade 1980-an
Teori Kontra-Revolusi Neoklasik.
Teori ini muncul pada dasawarsa 1980-an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang dianut Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan swastanisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya himbauan untuk meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi di negara-negara berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang bersumber dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan harga yang tidak tepat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan.
Nyaris sepanjang dekade 1980-an, yang paling menonjol adalah pendekatan kontra-revolusi neoklasik(sering juga disebut neoliberal)dalam pemikiran ekonomi ini menekankan pada peranan menguntungkan yang dimainkan oleh pasar-pasar bebas, perekonomian terbuka dan swastanisasi perusahaan-peeusahaan milik pemerintah atau negara yang kebanyakan memang tidak efisien dan boros.
2.2.6 Dekade akhir 1980-an dan Awal 1990-an
Akhirnya pada penghujung dekade 1980-an sejumlah kecil ekonom neoklasik dan institusional mulai mengembangkan apa yang kemudian menjadi pendekatan yang kelima yakni teori baru pertumbuhan ekonomi. teori ini memodifikasi dan mengembangkan teori pertumbuhan tradisional sedemikian rupa sehingga dapat mengapa ada negara yang mampu berkembang sedemikian cepat sedangkan yang lainnya begitu sulit bahkan mengalami stagnasi(kemacetan).
Kekecewaan terhadap keterbatasan model-model pertumbuhan ekonomi neoklasik tradisional selama penghujung dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an memuncak dengan terjadinya krisis utang internasional yang terutama sekali memikul negara-negara berkembang.
A) Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan yang baru menyajikan suatu kerangka teoritis untuk menganalitis apa yang disebut sebagai pertumbuhan endogen atau proses pertumbuhan GNP yang bersumber dari suatu sistem yang mengatur proses produksi.
Motivasi pokok tumbuhnya teori baru ini adalah untuk menjelaskan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar negara dan mengapa konsep pertumbuhan sekonomi itu sedemikian penting. Secara lebih spesifik, para teoritisi pertumbuhan endogen itu berusaha menjelaskan berbagai faktor tang menentukan besar kecilnya π, dan tingkat pertumbuhan GDP yang sebelumnya memang belum ditelaah dalam persamaan pertumbuhan neoklasik Solow, hal itu hanya dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat eksogen(residu Solow)
B) Kritik Terhadap Teori Pertumbuhan Yang Baru
Ada satu kelemahan yang mencolok pada teori pertumbuhan yang baru ini, yakni ketergantungannya terhadap sejumlah asumsi neoklasik tradisionla yang sebenarnya sudah jelas terbukti tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara berkembang .
Sebagai contoh, teori pertumbuhan baru ini mengasumsikan bahwa hanya terdapat satu sektor produksi atau bahwa semua sektor bersifat simetris.Teori-teori ini tidak mampu untuk menguraikan sebab-sebab mengapa modl sebenarnya sangat langka itu tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Struktur intensif yang masih sangat lemah di negara-negara berkembang agaknya adalah penyebabnya. Struktur insentif yang buruk tidak memungkinkan terciptanya akumulasi tabungan dan investasi yang tinggi sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi di berbagai negara-negara berkembang selama ini senantiasa tersendat-sendat.
Dan yang terakhir, serangkaian studi empiris terhadap nilai atau bobot prediktif teori-teori pertumbuhan endogen berkesimpulan bahwa teori-teori itu tidak mampu memberikan prediksi yang cukup akurat.
2.3 Studi Kasus
Pembangunan secara umum diartikan sebagai pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan akan adanya harga diri. Dalam prakteknya perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, hashab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit pada masing-masing negara.
Paradigma yang berkembang dimulai dengan Teori Pembangunan Klasik yang terpecah menjadi berbagai aliran dan menurunkan faham-faham kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya berkembang pula teori-teori turunan seperti Tesis Pembangunan Dualistik, Teori Perubahan Struktural, Teori Tahapan Linear, Teori Revolusi Ketergantungan Internasional, Teori Kontra Revolusi Neoklasik, dan yang terakhir Paradigma Pembangunan Berkelanjutan.
Negara-negara Sedang Berkembang (Developing Countries) banyak bereksperimentasi dengan campuran dari teori-teori di atas mulai dari yang sentralistik sampai kepada yang liberal tergantung faham idiologi yang di anut. Hal yang perlu dicatat, tidak satu pun Negara Sedang Berkembang bisa menyelesaikan masalah pembangunannya dengan hanya mengadapsi satu teori secara bulat dan utuh. Karena teori-teori pembangunan yang ada berkembang secara local spesific sehingga tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada situasi yang berbeda.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 pembangunan di Indonesia sendiri dapat dikatakan telah berganti-ganti faham. Namun ada satu ciri yang khas, yaitu menerapkan teori-teori yang liberal namun dalam situasi yang sangat sentralistik dan peranan pemerintah sangat dominan. Namun karena situasi local spesific tidak terlalu dikenali dan didalami, selalu dihadapkan kepada keadaan dead lock baik di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru.
Sebelum krisis ekonomi dan multidimensi melanda, Indone-sia telah mencapai kemajuan pesat dalam banyak aspek pemba-ngunan. Semenjak tahun 1975 hingga pertengahan tahun 1990-an Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus meningkat, sampai terjadinya penuru-nan yang drastis di pertengahan 1998, ketika krisis multidimensi mencapai puncaknya. Selama lebih seperempat abad rezim Orde Baru dengan sistematis menukar kebebasan demo-krasi dengan pertumbuhan ekonomi. Kebebasan demokrasi yang melapang-kan partisipasi masyarakat menuju pemberdayaan pembangunan disimpan sebagai paradigma yang tidak prospektif. Indonesia mengejar 6% pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diparadigmakan oleh World Bank dan IMF. Memang tidak dipungkiri bahwa banyak aspek yang telah dicapai selama masa Orba. Angka kemiskinan yang menurun, rendah-nya angka kematian ibu dan bayi, meningkatnya harapan hidup, menu-runnya kesenjangan pendapatan hingga meningkatnya angka melek huruf telah dicapai pada era 1990-an. Pada masa yang sama ratio partisipasi perempuan semakin rata antara laki-laki dan perempuan.
Sebelum krisis Indonesia menikmati pertum-buhan ekonomi yang luar biasa cepat hingga 6% perkapita. Padahal baru bangkit setelah proses konsolidasi politik menghancurkan sendi-sendi kehi-dupan bangsa di tahun 1966-an. Pada awal Repelita (1969-1974) kebijakan pertanian dilaksanakan dengan target besar swasembada beras. Pertanian diintensifkan hingga mencapai rekor panen nasional sebesar 38 ton pada 1984. Impor beras secara otomatis menurun bahkan selama 5 tahun (1985-1990) Indonesia tidak mengimpor beras sama sekali. Tetapi kembali memudar ketika harus mengimpor 10% kebutuhan beras nasional semenjak tahun 1990-an. Kebijakan pertanian berimplikasi pada penurunan angka kemiskinan dan pemerataan upah nominal antara desa dan perkotaan. Akan tetapi kebijakan pemerintahah untuk tetap memperta-hankan konsumsi demi berlangsungnya investasi menjadi salah satu bahan peledak bom waktu ketika krisis melanda di akhir 1997.
Akhir Pertumbuhan dan Krisis Ekonomi
Pencapaian Indonesia yang luar biasa bahkan ajaib itu mendapat julukan the buble economic growth (negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melambung cepat). Akan tetapi pada paruh kedua dekade 1990-an mulai terlihat tanda-tanda bahwa masa keemasan pertum-buhan ekonomi Indonesia mulai mendekati titik akhir. Produktifitas pertani-an mengalami stag-nasi, pertumbuhan ekspor melambat dan tekanan terhadap tingkat upah semakin menguat. Ditambah dengan kompetisi di sektor manufaktur semakin meningkat seiring dengan perkembangan negara-negara lain, khususnya di Asia Selatan, yang bergabung dengan formasi ‘flying geese’ (angsa terbang) Asia. Padahal telah tiba waktunya bagi Indonesia untuk melewati tahap pertama industrialisasi yang paling sederhana menuju ke tahap yang berlandaskan pada produktifitas yang lebih tinggi, yang tidak hanya mengandalkan keterampilan merakit tetapi lebih pada inovasi teknologi.
Sejak pertengahan dekade 1960-an Indonesia telah menikmati perpaduan yang menguntungkan antara kebijakan pemerintah dan selisih harga minyak di pasar internasional. Tetapi pada pertengahan dekade 1990-an model ini lambat laun lenyap. Terdapat banyak isu utama yang dijadikan alasan masuknya Indonesia dalam kubangan krisis. Tetapi mainstream menunjukkan ada dua faktor yang melandasi perubahan tersebut, yaitu perubahan struktur roduksi dan prubahan kondisi ekonomi makro. Perubahan struktur produksi melibatkan banyak sektor yang berubah, antara lain pertanian yang stagnan, industri yang lebih padat modal, pertumbuhan ekspor melambat dan pertumbuhan pasar tenaga kerja formal. Sementara perubahan ekonomi makro meliputi : tabungan dan investasi yang tidak mencukupi, kebijakan pengaturan nilai tukar dan kebijakan moneter dan fiskal.
Kebijakan pertanian sebelum dekade 1990-an dapat menghasilkan produksi gabah yang tinggi, tetapi dualisme paradigma pembangunan antara pertumbuhan ekonomi yang melibatkan industrialisasi dan mengejar tingginya produksi pertanian tidak dapat diimplementasikan secara bersamaan. Sektor industri lebih menarik dibanding-kan sektor pertanian. Tahapan industrialisasi yang dimasuki Indonesia sedang dalam taraf keterampilan perakitan. Sektor industri menyediakan upah riil yang lebih tinggi dibandingkan pertanian. Hal ini menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran dari desa ke kota. Tercatat sekitar 20,4% penduduk desa bermigrasi ke sentra industri di Jawa dan Sumatra. Tetapi industrialisasi memiliki konsekuensi tersedianya lahan yang luas untuk produksi dan perumahan. Lahan-lahan produktif terpaksa dirubah menjadi lahan industri padat modal. Sehingga pada akhir dekade 1990-an produksi padi menurun drastis hingga 21,5%. Kemajuan teknologi dan industri yang semula diarahkan untuk memback up pertanian dengan tema agroindustri, justru menurunkan produksi pertanian itu sendiri.
Pada akhir tahun 1990-an ekspor produk-produk padat karya melambat dengan sangat signifikan. Hal ini sebagian disebabkan oleh melunturnya efek peningkatan yang sangat cepat akibat devaluasi pada tahun 1980-an, setelah harga-harga relatif dan pangsa pasar menyesuaikan dengan nilai tukar yang baru. Faktor lainnya adalah Indonesia pada tahun 1980-an mencapai batas ekspor di bawah Multifibre Arrangement. Sementara Indonesia harus bersaing dengan Cina dan Vietnam yang mengandalkan industri padat modal dengan upah buruh yang rendah. Resesi di negara-negara maju pada akhir tahun 1980-an juga telah mengurangi permintaan terhadap produk-produk Indonesia. Akibatnya di akhir tahun 1980-an industri-industri seperti tekstil, garmen dan bahkan kayu lapis mengalami stagnasi atau bahkan penurunan. Untuk kasus tekstil, misalnya, industri yang antara tahun 1986-1991 ekspornya meningkat dari 0,3 milyar dolar menjadi 2,7 milyar dolar. Tetapi mengalami stagnasi dalam 5 tahun berikutnya, hanya mengekspor sekitar 2,3-2,9 milyar dolar. Sisa ekspor juga tidak begitu direspon oleh pasar lokal, sehingga dengan melambatnya ekspor sepatu, kain tenun, kain dan sutra, produksi secara keseluruhan menurun.
Ketika struktur produksi mengalami perubahan, Indonesia juga harus menghadapi lingkungan finansial baru yang membuatnya lebih terbuka terhadap permintaan dan perubahan-perubahan di pasar internasional. Pada tahun 1990-an rasio tabungan terhadap PDB di Indonesia mencaapai puncaknya yaitu sekitar 29%. Rasio ini termasuk tinggi bila dibandingkan dengan standar negara berkembang, tetapi jauh lebih rendah dari yang dicapai oleh beberapa negara Asia Timur. Jika Indonesia berkeinginan untuk menigkatkan inverstasi maka harus mengandalkan dari tabungan luar negeri, melalui investasi asing dalam bentuk portofolio, tentunya dengan resiko bahwa investasi tersebut akan sangat mudah menguap. Sebagaimana ditunjukkan secara gamblang selama krisis yang terjadi pada tahun 1977.
Pengaturan nilai tukar- jika pemerintah ingin memiliki nilai tukar yang stabil sementara masih sangat bergantung pada arus modal dari luar maka pemerintah akan kurang memiliki kebebasan untuk menyesuaikan tingkat suku bunga yang dapat merangsang peningkatan tabungan dan investasi domestik. Ketergantungan pada modal dari luar memiliki sejumlah konsekuensi. Misalnya, pemerintah akan lebih sulit bertahan dari para spekulator mata uang. Bank Indonesia telah berkali-kali mencoba mengurangi dampak masuknya dolar terhadap nilai tukar dengan menjual rupiah, cadangan devisa akan secara cepat meningkat. Namun menahan cadangan yang cukup besar untuk jangka waktu yang cukup panjang akan mengurangi modal yang tersediauntuk investasi. Pada akhirnya harus diakui bahwa semakin Indonesia bergantung pada modal asing maka nilai tukar rupiah dan laju pertumbuhannya akan semakin berfkluktuasi seperti ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara tetangga memiliki fundamental ekonomi yang kokoh pun sama sekali tidak menjamin stabilnya arus modal. Mengigat besarnya volume modal internasional yang mobile, tidak ada nega yang dapat mengakumulasi cadangan devisa yang cukup untuk melindungi nilai tukar mata uangna dari suatu serangan spekulatif yang disengaja.
Kebijakan moneter dan fiskal-Karena tidak lagi dapat menetralisir arus modal yang besar dengan berbagai cara yang efektif, pemerintah harus menilai kembali keseimbangan antara kebijaksanaan fiskal dan moneternya. Kebanyakan pemerintah saat ini ingin menjaga inflasi dengan memperketat pengeluaran publik sehingga anggaran yang berimbang dapat dipertahankan. Dengan demikian berarti dilakukan pengurangan pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan, sebagaimana juga untuk investasi infrastruktur –dengan implikasi serius bagi pembangunan manusia pada umumnya dan pengurangan kemiskinan pada khususnya. Dalam situasi seperti ini mungkin ada baiknya bila Indonesia menerima tingkat inflasi yang lebih tinggi. Hal ini juga menyakitkan bagi kaum miskin, tetapi akan kurang menyakitkan dibandingkan dengan pemotongan pengeluaran untuk sektor publik. Dengan menerima tingkat inflasi yang lebih tinggi juga akan memungkinkan tingkat suku bunga riil menjadi lebih rendah, yang akan membantu mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pada paruh waktu pertama dekade 1990-an, Indonesia dihadapkan pada suatu kondisi baru yang lebih kompleks, yang akan mempengaruhi distribusi pendapatan dan membuat upaya pembangunan manusia yang merata menjadi lebih sulit. Pertanian mengalami stagnasi, sektor manufaktur menjadi lebih padat modal, kondisi ekonomi makro menjadi lebih labil. Ketika krisis ekonomi terjadi, terlihat sejauh mana perkembangan-perkembangan tersebut serta hambatan-hambatan yang dihadapi. Pada saat yang sama, krisis itu sendiri telah merubah lingkungan ekonomi dan sosial. Dengan demikian, untuk mengevaluasi prospek bagi keadilan sosial dan kesetaraan akan diperlukan analisa dari berbagai konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai peristiwa yang terjadi selama empat tahun terakhir.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada hakekatnya, pembangunan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan prasarana dan sarana dilakukan hanya untuk menunjang kegiatan manusia dalam pembangunan. Karena pembangunan yang berlangsung selama beberapa dekade sesudah Perang Duni-II tidak berpusat pada manusia, maka itu pembangunan tersebut belum mampu meningkatkan tingkat hidup dari kaum miskin dihampir semua tempat dipermukaan bumi ini. Tanpa pengembangan kemampuan, kaum miskin tidak mungkin dapat mengambil manfaat dari prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan..
Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan masa depan manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Karena itu pembangunan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan selalu meningkat dari hari kehari.
Pembangunan berlangsung dalam masyarakat yang selalu berubah. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dalam masyarakat yang berubah itu, tetapi juga berperan untuk melakukan perubahan atau mengarahkan perubahan tersebut.
3.2 Rekomendasi
Karena pembangunan meliputi banyak sisi kehidupan, pembangunan harus didekati dengan beragam bidang ilmu (holistic approach). Pendekatan yang multi disiplin ini perlu ditekankan untuk menghindarkan kesan yang sempit tentang pembangunan, yang menganggap pembangunan semata-mata berada dalam lingkup bidang ekonomi, dan, karena itu hanya menjadi urusan para ahli ekonomi saja.
Sempitnya pengertian tentang pembangunan itu telah mengakibatkan pembangunan mengalami banyak kelemahan selama beberapa dekade sesudah Perang Dunia II. Selama masa itu, pembangunan dipandang sebagai persoalan teknis semata yang segala permasalahannya dapat diselesaikan secara ekonomis dan dengan perhitungan kuantitatif. Akibatnya, pembangunan hanya mampu menyentuh permasalahan yang dapat dihitung, yang ada dipermukaan dan yang biasanya hanya berhubungan dengan kelompok ekonomi kuat saja. Permasalahan-permasalahan hidup yang tidak berada dipermukaan dan tidak dapat dihitung yang dihadapi golongan ekonomi kecil, diharapkan teratasi dengan sendirinya melalui rembesan dari hasil kegiatan dipermukaan itu (trickle-down- effects).
Kesadaran tentang keperluan adanya pendekatan yang multi disiplin ini telah mendorong orang untuk melihat pembangunan tidak hanya dalam satu sektor atau bidang saja tetapi juga meliputi berbagai sektor, bidang dan daerah (regional approach). Analisis kebijakan dalam pembangunan tidak lagi sekedar berada dalam wawasan ilmu ekonomi, tetapi juga meliputi ilmu politik, ilmu perwilayahan (regional science), ilmu administrasi dan kebijakan public.
Diantara beberapa strategi pembangunan yang diperlukan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan adalah:
pertama, yang berkenaan dengan upaya pemberdayaan politik rakyat. Artinya, rakyat diberi wewenang untuk mewujudkan hak demokrasinya dalam memutuskan sendiri tentang apa yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya.
Kedua, pengembangan kemampuan, keahlian dan ketrampilan, baik untuk mengolah sumberdaya setempat maupun untuk mampu berpartisipasi aktif seperti yang dimasudkan diatas. Wujud dari strategi ini adalah pendidikan dan pelatihan yang meluas dalam masyarakat. Disamping itu juga pengadaan berbagai fasilitas penunjang yang diperlukan, mulai dari prasarana phisik, pemudahan urusan secara administratif, pengadaan jaringan komunikasi dan informasi yang dibutuhkan.
Ketiga, program-program sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari kesadaran masyarakat yang antara lain tercermin pada nilai-nila kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, kejujuran dan kecurangan. Dalam masyarakat Indonesia, nilai-nilai tersebut terdapat pada nilai-nilai agama yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila yang sekaligus menjadi dasar negara. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam penataan pemerintahan dan pembangunan, seperti fondasi bagi suatu bangunan bertingkat. Nilai-nilai yang hidup itu mendorong timbulnya etos kerja, kepercayaan diri, dan loyalitas.
ini sumbernya dari mana ya?
BalasHapus